Mendidik Lewat Lapangan: Refleksi Pendidikan Jasmani di Sekolah

 Di posting pada: Thursday, 23/10/2025, 15:10 WITA
 Penulis: Ade Ismail Ramadhan Hamid
Sejalan dengan TPB nomor:
SDGs 3 SDGs 4
Mendidik Lewat Lapangan: Refleksi Pendidikan Jasmani di Sekolah

Oleh: Januar Abdilah Santoso, S.Pd., M.Or – Dosen S1 Pendidikan Olahraga, Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur

umkt.ac.id, Samarinda - Belakangan, jagat media sosial ramai memperbincangkan peristiwa di sebuah sekolah menengah atas di Banten. Seorang siswa kedapatan merokok di lingkungan sekolah dan mendapat tamparan dari kepala sekolah. Insiden itu kemudian melebar: sang siswa melapor kepada ibunya, lalu orang tua tersebut membawa perkara ini ke kepolisian.

Tak berhenti di situ, seluruh siswa sekolah tersebut kompak melakukan aksi mogok belajar sebagai bentuk protes terhadap pemecatan sang kepala sekolah. Gubernur dan wakil gubernur pun turun tangan, hingga akhirnya kepala sekolah diberhentikan dari jabatannya. Namun, yang paling menyita perhatian publik adalah reaksi para pelaku usaha di media sosial yang menyatakan akan mem-blacklist lulusan dari sekolah itu, dengan alasan “belum bekerja saja sudah berani mogok.”

Fenomena ini menggambarkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar persoalan pelanggaran disiplin. Ia menunjukkan krisis karakter dan lemahnya pembinaan nilai di lingkungan keluarga maupun sekolah. Di era ketika media sosial menjadi panggung utama ekspresi, batas antara benar dan salah sering kali kabur. Masyarakat pun mudah terseret emosi tanpa memahami konteks utuh sebuah peristiwa pendidikan.

Krisis Keteladanan dan Otoritas Pendidikan

Kasus ini mengundang pertanyaan reflektif: di mana letak kegagalan kita dalam mendidik anak? Apakah semua kesalahan harus dilemparkan kepada sekolah, sementara keluarga melepaskan tanggung jawabnya?

Keluarga sejatinya merupakan fondasi utama pendidikan karakter. Anak yang sejak kecil dibiasakan hidup dengan disiplin dan tanggung jawab akan mampu memahami konsekuensi dari setiap tindakannya. Sebaliknya, anak yang tumbuh tanpa batas nilai akan mudah menolak otoritas dan merasa dirinya selalu benar.

Sekolah memang berperan besar dalam membentuk perilaku dan moral siswa, tetapi tanpa dukungan pendidikan keluarga, sekolah sering kali hanya menjadi “penjaga aturan”, bukan pembentuk watak. Dalam situasi seperti ini, guru dan kepala sekolah kerap berada di posisi serba salah, ditegas salah, dilunak pun salah. Akibatnya, lahirlah generasi yang tidak terbiasa menghadapi konsekuensi dan tekanan sosial secara dewasa.

Lapangan Sebagai Ruang Didik Karakter

Dalam kerangka pendidikan, pelajaran jasmani sering kali dipandang remeh, dianggap sekadar ruang bergerak dan berolahraga. Padahal, pendidikan jasmani sesungguhnya merupakan laboratorium kehidupan.

Di lapangan, siswa belajar tentang sportivitas, disiplin, kerja sama, dan pengendalian emosi. Mereka belajar menerima kekalahan dengan lapang dada dan menghormati kemenangan orang lain. Di sana pula nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan empati dipraktikkan secara langsung bukan sekadar diajarkan secara teoritis.

Guru pendidikan jasmani memiliki peran strategis dalam membentuk karakter peserta didik. Dengan pendekatan yang humanis dan partisipatif, guru dapat menanamkan nilai-nilai moral tanpa harus menggunakan kekerasan. Melalui permainan dan kegiatan fisik yang menyenangkan, siswa belajar tentang pentingnya peraturan, kesabaran, dan kerja sama tim.

Pendekatan ini sejalan dengan tujuan pendidikan jasmani yang mencakup tiga domain utama: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Artinya, penjas tidak hanya mengembangkan kemampuan gerak, tetapi juga membangun sikap dan pemahaman sosial. Inilah mengapa guru olahraga dapat menjadi agen penting dalam pendidikan karakter bangsa.

Peran Keluarga dan Sekolah yang Berimbang

Kasus di Banten seharusnya menjadi cermin bagi kita semua bahwa pendidikan bukan sekadar urusan sekolah. Keluarga memiliki peran sentral dalam menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan. Orang tua yang mudah marah ketika anaknya ditegur, tanpa melihat konteks kesalahan, justru memperkuat budaya permisif.

Sementara itu, sekolah juga perlu mengevaluasi cara mendidik yang terlalu berorientasi pada hukuman fisik. Ketegasan tetap dibutuhkan, tetapi harus dibalut dengan pendekatan yang membangun kesadaran, bukan ketakutan. Di sinilah kolaborasi antara guru, orang tua, dan masyarakat menjadi sangat penting.

Penutup

Pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi proses pembentukan manusia seutuhnya. Kita tidak sedang mencetak siswa yang hanya cerdas secara akademik, melainkan manusia yang mampu berpikir, berperilaku, dan bertanggung jawab terhadap tindakannya.

Lapangan olahraga, ruang kelas, dan lingkungan rumah sejatinya adalah satu kesatuan ruang belajar yang membentuk karakter anak. Jika semuanya berjalan beriringan, kita tidak perlu lagi khawatir pada generasi yang mudah tersinggung atau sulit menerima nasihat.

Karena sejatinya, mendidik bukan hanya soal mengajar, tetapi soal memberi teladan di lapangan, di rumah, dan di kehidupan nyata.

Berita lainnya