Kecerdasan Emosional: Fondasi Tersembunyi di Balik Kesuksesan Akademik
Penulis: Raisha Azzahro
umkt.ac.id, Samarinda - Di era digital saat ini, pendidikan tidak lagi sekadar ajang pertemuan untuk mentransfer ilmu pengetahuan. Pendidikan telah menjadi sebuah arena interaksi antar manusia. Adanya interaksi antar manusia, membuka peluang yang sangat besar untuk terjadinya gesekan-gesekan emosi yang tidak terlihat. Banyak pendidik, dalam konteks ini adalah dosen, dan mahasiswa menghadapi tekanan. Mulai dari target akademik yang tinggi, persaingan, serta tantangan psikologis. Dalam situasi seperti ini, kemampuan mengenali, memahami, dan mengelola emosi menjadi kunci agar proses pembelajaran tetap efektif.
Kecerdasan emosional atau emotional intelligence (EQ) hadir sebagai fondasi penting dalam menciptakan hubungan yang sehat, terutama di lingkungan pendidikan. EQ tidak hanya membantu seseorang sukses secara akademik, tetapi juga membangun karakter dan empati yang menjadi inti dari proses pembelajaran. Istilah kecerdasan emosional pertama kali dipopulerkan oleh Daniel Goleman, seorang psikolog dan penulis yang menekankan bahwa kesuksesan seseorang tidak semata ditentukan oleh IQ, tetapi juga oleh kemampuan mengelola emosi.
Menurut Goleman, terdapat lima komponen utama dalam EQ, yakni kesadaran diri (self awareness), pengaturan diri (self regulation), keterampilan sosial (social skills), motivasi, dan empati. Kelima aspek ini saling terhubung dan membentuk fondasi perilaku yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks pendidikan, hal ini bukan hanya berpengaruh pada keberhasilan akademik, tetapi juga pada hubungan sosial antar sesama mahasiswa dan dengan dosen di kampus.
EQ juga membantu dosen mengelola stres dan emosi negatif. Dalam situasi kelas yang dinamis, kemampuan mengendalikan reaksi emosional menjadi kunci agar komunikasi tetap efektif. Suasana pembelajaran oleh dosen berkecerdasan emosional pun akan menyenangkan, aman, dan nyaman. Sedangkan dari sisi mahasiswa, kecerdasan emosional dapat mempengaruhi adaptasi dengan tekanan akademik dan hubungan satu sama lain. Membangun kecerdasan emosional dari mahasiswa dapat dimulai dengan mengenali tanda-tanda stress beserta mencari cara mengatasinya, dan membentuk relasi yang sehat dengan teman sekelas. Dalam kerja kelompok, misalnya, kemampuan berkomunikasi asertif menjadi bekal penting untuk menyelesaikan konflik secara dewasa.
Di UMKT, nilai-nilai kecerdasan emosional sudah terintegrasi dalam budaya akademik yang menekankan empati, kerja sama, dan ukhuwah insaniyah. Interaksi antara dosen dan mahasiswa dibangun dengan prinsip saling menghargai, mendengarkan, dan membantu satu sama lain. Program mentoring, lokakarya, kegiatan sosial, serta pembelajaran kolaboratif menjadi wadah nyata untuk menumbuhkan EQ mahasiswa. Dengan pendekatan ini, UMKT tidak sekadar mencetak lulusan yang cerdas secara intelektual, tetapi juga individu yang matang secara emosional dan berakhlak sosial.
Di UMKT, mari tumbuhkan kecerdasan emosional agar kecerdasan intelektual kita tidak hanya menghasilkan prestasi, tetapi juga menciptakan lingkungan humanis yang berempati.
Penulis: Raisha Azzahro
Sumber gambar: Freepik