Memotret di Ruang Publik: Antara Kebebasan dan Pelanggaran Privasi

 Diposting pada: Monday, 10/11/2025, 09:33 WITA
 Penulis: Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
Sejalan dengan TPB nomor:
SDGs 8 SDGs 9 SDGs 11
Memotret di Ruang Publik: Antara Kebebasan dan Pelanggaran Privasi

umkt.ac.id, Samarinda — Maraknya perdebatan tentang fotografer jalanan yang memotret masyarakat berlari saat Car Free Day (CFD) tanpa izin dan menjual hasil fotonya di platform digital bernama FotoYu menimbulkan pertanyaan besar tentang batas antara ruang publik dan hak privasi individu. Praktik ini memicu pro dan kontra. Sebagian masyarakat menganggap hal tersebut sebagai pelanggaran privasi, sementara sebagian lainnya menilai bahwa beraktivitas di ruang publik berarti siap dengan risiko yang ada.

Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT), Ikhwanul Muslim, S.H., M.H., menilai fenomena ini sebagai persoalan lama yang kini hadir dalam bentuk baru.

“Sebenarnya, secara fenomena, praktik ini sudah lama sekali bisa kita temui di Indonesia. Bedanya, sekarang praktik itu berpindah dari manual menjadi digital,” jelasnya. Ia menambahkan, perdebatan menjadi semakin besar karena kini ruang publik diperluas ke media sosial, sehingga siapa pun bisa berpendapat dan mempermasalahkan tindakan tersebut.

Menurut Ikhwanul yang ditemui dalam wawancara eksklusif, persoalan muncul ketika masyarakat tidak dimintai persetujuannya terlebih dahulu untuk difoto oleh fotografer dan hasilnya diunggah pada platform digital untuk kemudian dapat dibeli oleh yang bersangkutan. “Jika pada akhirnya ini merupakan praktik jual beli, maka sudah sepatutnya dimulai dari kesepakatan antar kedua belah pihak (fotografer dan masyarakat). Dalam konteks ini, di mana proses kesepakatannya?” tegasnya. 

Ia menjelaskan bahwa seseorang dapat tiba-tiba menemukan foto dirinya pada platform digital itu padahal ia tidak pernah memberikan persetujuan sebelumnya. “Persetujuan untuk difoto sebagai bentuk kesepakatan di awal itu tidak ada, sehingga ini yang kemudian memunculkan polemik di publik,” lanjutnya.

Ketika ditanya soal batas antara ruang publik dan privasi individu, Ikhwanul menjelaskan bahwa keduanya memiliki garis yang tegas. “Ruang publik seperti jalanan atau taman berhak diakses semua orang. Tapi bukan berarti di ruang publik itu kita dapat melakukan apapun terlebih jika itu melanggar ruang privasi individu. Karena gambar diri itu merupakan ruang privasi individu yang perlu sama-sama dihormati” ujarnya. Dalam konteks fotografer jalanan, lanjutnya, menghargai privasi individu merupakan batas penting yang menentukan apakah tindakan tersebut pantas dilakukan. 

Selama di ruang publik, kita harus menghargai privasi orang lain sebagai etika. Apa-apa yang kita lakukan dan mengharuskan kita berinteraksi dengan orang lain, haruslah mendapat izin atau persetujuan. Dari sisi hukum, Ikhwanul menjelaskan bahwa praktik pengambilan foto tanpa izin dapat dikategorikan sebagai pelanggaran privasi. 

“Kalau bicara tentang landasan hukum, bukan hanya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tapi juga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dua aturan itu sebenarnya sudah memayungi perlindungan data pribadi,” urainya. Ia menekankan bahwa pelanggaran dapat terjadi ketika hak pribadi seseorang dieksploitasi tanpa izin. Bahkan, menurutnya, pelanggaran privasi sederhana bisa terjadi dalam hal kecil seperti memasukkan seseorang ke dalam grup WhatsApp tanpa persetujuan.

“Kalau ditanya bisakah diminta pertanggungjawaban? Jelas bisa. Tapi pertanyaannya, siapa yang harus kita minta pertanggungjawaban? Fotografer atau penyedia platform?” lanjutnya. Ia menilai regulasi di Indonesia masih belum spesifik mengatur konteks tersebut. “Dalam hukum, kita selalu berbicara preventif. Harus ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab jika foto seseorang disalahgunakan.”

Selain aspek hukum, Ikhwanul juga menyinggung sisi etika profesi dalam fotografi. Ia menjelaskan bahwa dalam praktik fotografi jalanan, etika menjadi pedoman utama. “Ketika objek foto adalah individu, maka seharusnya wajahnya disamarkan jika tidak ada izin, apalagi kalau untuk tujuan komersial.” 

Ia menegaskan bahwa kesepakatan atau izin harus diperoleh sebelum proses pemotretan dan distribusi foto. Sehingga, menurutnya, kesepakatan itu harus di awal, bukan di akhir, supaya tidak muncul masalah hukum di kemudian hari.

Sebagai langkah preventif, Ikhwanul menyarankan adanya pengaturan yang lebih konkret agar fotografer tidak melanggar privasi masyarakat. “Memberi isyarat atau gestur tubuh untuk menolak difoto seringkali tidak efektif, karena situasinya sulit dikendalikan di ruang publik. Alternatif yang lebih baik adalah dengan menyediakan jalur atau area khusus bagi peserta yang bersedia difoto pada kegiatan seperti CFD atau event lari. Dengan adanya pemisahan rute tersebut, peserta yang tidak ingin difoto dapat merasa lebih nyaman. Untuk mewujudkan hal ini, tentu diperlukan koordinasi dan kerja sama antara pihak penyelenggara kegiatan dan pemerintah,” sarannya.

Lebih lanjut, ia juga menyoroti bahwa fenomena fotografer jalanan sebenarnya dapat menjadi peluang ekonomi kreatif yang positif. Kehadiran fotografer di ruang publik seperti CFD atau area wisata dapat membuka lapangan kerja baru, menggerakkan ekonomi mikro, dan menjadi ruang bagi masyarakat untuk berekspresi melalui seni visual. Namun menurutnya, perkembangan ini tetap harus berjalan seiring dengan penghormatan terhadap ruang privasi individu.

Menutup wawancara, Ikhwanul menegaskan kembali pentingnya kesadaran hukum dan etika dalam memanfaatkan teknologi. “Ruang publik bukan berarti ruang bebas tanpa batas. Ada privasi yang tetap harus dihormati. Kesepakatan, izin, dan persetujuan adalah landasan utama. Tanpa itu, praktik fotografi di ruang publik bukan hanya melanggar ruang individu, tapi juga dapat berpotensi berhadapan dengan hukum,” pungkasnya.

 

Baca juga di KapanLagi.com

 

Penulis: Raisha Azzahro

Sumber foto: Freepik

Berita lainnya