Makna Menjadi Ayah di Era Modern: Antara Peran, Kehadiran, dan Keteladanan

 Diposting pada: Wednesday, 12/11/2025, 08:19 WITA
 Penulis: Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
Sejalan dengan TPB nomor:
SDGs 4 SDGs 5
Makna Menjadi Ayah di Era Modern: Antara Peran, Kehadiran, dan Keteladanan

umkt.ac.id, Samarinda — Di tengah dinamika kehidupan modern, peran seorang ayah kini tidak lagi terbatas pada tanggung jawab ekonomi. Lebih dari itu, menjadi ayah berarti hadir sebagai sosok pendidik, teladan, sekaligus teman bagi anak-anak. Dalam rangka memperingati Hari ayah yang jatuh setiap tanggal 12 November, dua pimpinan Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT) pun turut berbagi refleksi mendalam tentang makna menjadi ayah di antara kesibukan akademik dan tanggung jawab keluarga.

Bagi Ghozali, Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Pengabdian Masyarakat UMKT, menjadi ayah bukan hanya soal memberi nafkah, tetapi juga berperan dalam membentuk karakter anak sejak dini.

“Peran ayah sekarang dituntut untuk membentuk karakter anak-anak di rumah. Karakter anak sangat tergantung dari kita sebagai ayah, tidak hanya Ibu,” ungkapnya.

Menurutnya, konsep pengasuhan kini telah bergeser. Jika dulu ayah identik dengan pencari nafkah, kini ayah juga dituntut untuk terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. “Di era modern dan digital, peran ayah harus lebih fleksibel. Kita perlu hadir secara emosional, bukan hanya finansial,” tambahnya.

Bagi Ghozali, kehadiran bukan selalu tentang seberapa lama menghabiskan waktu bersama anak, melainkan kualitas interaksinya. Momen sederhana seperti mengantar anak ke sekolah, berbincang di perjalanan, atau sekadar makan bersama menjadi cara ia membangun kedekatan emosional dengan anak-anaknya. 

Ghozali, Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Pengabdian Masyarakat UMKT

Hal serupa juga dirasakan oleh Abdul Halim, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Mutu UMKT. Di sela kesibukan akademik, ia selalu berusaha menciptakan waktu untuk keluarga.

“Kadang saya pulang dengan pekerjaan yang belum selesai, jadi saya hadir secara fisik, tapi masih bersama laptop. Karena itu, saya bagi quality time menjadi dua, mikro dan makro,” jelasnya.

Quality time versi mikro, lanjutnya, dilakukan di sela waktu singkat. Seperti mengajak anak berjalan-jalan sebentar atau membeli makanan bersama. Sedangkan versi makro, salah satunya adalah liburan keluarga minimal sebulan sekali sebagai momen berkumpul dan berbagi cerita.

Kedua ayah ini sepakat bahwa nilai spiritual dan moral menjadi pondasi utama dalam mendidik anak. “Saya selalu menanamkan nilai spiritual sebagai modal utama anak-anak. Kalau bekalnya kuat dari sisi agama dan akhlak, insya Allah mereka bisa menghadapi tantangan zaman,” ujar Ghozali.

“Saya tidak hanya menyuruh anak salat atau mengaji, tapi mengajak dan melakukannya bersama. Anak-anak lebih mudah meniru apa yang mereka lihat daripada apa yang hanya mereka dengar,” tutur Abdul Halim dalam menekankan pentingnya keteladanan langsung dalam pendidikan anak.

Ia juga menerapkan pola asuh yang demokratis. Anak-anak diberi kebebasan untuk mengeksplorasi, namun tetap diajarkan untuk bertanggung jawab. Pendekatan ini, menurutnya, membuat anak lebih mandiri dan mampu berpikir kritis tanpa kehilangan kedisiplinan.

Abdul Halim, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Mutu UMKT

Keduanya sepakat bahwa menjadi ayah adalah proses belajar tanpa henti. “Menjadi ayah itu tidak ada pelajarannya, tapi kita langsung terjun ke lapangan,” ujar Abdul Halim.

Sedangkan Ghozali, ia berpesan agar ayah muda tidak terjebak pada tuntutan kesempurnaan.“Anak-anak tidak butuh ayah yang sempurna, mereka butuh kehadiran yang konsisten, baik secara fisik maupun emosional.”

Di tengah arus digitalisasi dan perubahan sosial, kedua tokoh ini melihat pentingnya ayah beradaptasi dengan perkembangan zaman. Anak-anak generasi kini tumbuh dalam dunia yang berbeda dari masa kecil orang tuanya, sehingga diperlukan keterbukaan dan pemahaman lintas generasi.

“Kita harus jadi orang tua yang dinamis, bukan esensialis. Anak-anak kita, terutama gen alpha, punya dunia dan cara berpikir yang berbeda. Tugas kita bukan mengubah mereka menjadi seperti kita, tapi membimbing mereka agar tetap pada jalur yang benar,” pesan Abdul Halim.

Kisah dua ayah di lingkungan akademik UMKT ini menunjukkan bahwa, peran ayah di era modern tidak lagi sebatas ‘pencari nafkah’. Sosok ayah adalah pendidik pertama, teman diskusi, dan sumber nilai moral bagi anak-anak. Di balik gelar akademik dan tanggung jawab kampus, mereka tetap menempatkan keluarga sebagai prioritas, karena sejatinya, ayah hadir bukan hanya untuk memenuhi tanggung jawab finansial, tetapi juga untuk menumbuhkan karakter anak.

 

Penulis: Raisha Azzahro

Foto dan Design: Raihana Adhwa

Berita lainnya