Menembus Batas Lewat Beasiswa: Tips Sukses dari Awardee Fulbright

 Diposting pada: Monday, 17/11/2025, 09:00 WITA
 Penulis: Raisha Azzahro
Sejalan dengan TPB nomor:
SDGs 3 SDGs 4 SDGs 5 SDGs 10
Menembus Batas Lewat Beasiswa: Tips Sukses dari Awardee Fulbright

umkt.ac.id, Samarinda - Kesempatan untuk melanjutkan studi ke luar negeri kini semakin terbuka luas, terutama melalui berbagai program beasiswa seperti Fulbright dan YSEALI yang memberikan kesempatan belajar dan berkontribusi di tingkat global. Namun, di balik prestise dan peluang besar yang ditawarkan,  ketatnya proses seleksi menuntut persiapan yang matang. 

Hal inilah yang disampaikan oleh Irma Fitriani, Education USA Advisor untuk wilayah Kalimantan sekaligus awardee Fulbright dan YSEALI, saat ditemui di Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT). Sebagai seseorang yang pernah merasakan langsung atmosfer pendidikan di Amerika, Irma berbagi kisah dan strategi agar mahasiswa tidak hanya bermimpi, tapi juga siap berjuang untuk mewujudkannya.

“Fulbright adalah salah satu beasiswa paling bergengsi di dunia. Saya berkesempatan mengajar Bahasa Indonesia selama dua semester di University of Pennsylvania,” tuturnya mengenang pengalaman itu dengan penuh semangat.

Irma menegaskan, kunci utama dalam seleksi beasiswa bukan hanya IPK tinggi atau skor TOEFL dan IELTS semata. Di balik tumpukan berkas akademik, para penyeleksi mencari sosok yang memiliki kepedulian dan komitmen untuk memberi dampak nyata bagi masyarakat.

“Beasiswa itu mencari orang yang ‘beyond their GPA’. Jadi bukan cuma pintar, tapi juga punya komitmen untuk berkontribusi setelah program selesai,” jelasnya.

Menurutnya, calon penerima beasiswa bisa memulai dengan langkah sederhana seperti aktif di organisasi kepemudaan, mengikuti seminar, atau menekuni kegiatan yang sesuai dengan minat dan keahliannya. Aktivitas semacam ini menunjukkan konsistensi serta arah kontribusi yang jelas. “Kalau suka berwirausaha, misalnya, ikutlah pelatihan, webinar, atau organisasi yang relevan agar punya rekam jejak yang kuat,” tambah Irma.

Dalam menyusun CV, Irma mengingatkan pentingnya menyesuaikan isi dokumen dengan tujuan program beasiswa. Setiap program, kata dia, biasanya sudah memiliki panduan sendiri. “Ikuti format dan tonjolkan hal-hal yang relevan, seperti pengalaman riset atau kontribusi sosial yang sesuai dengan bidang studi tujuan,” jelasnya.

Hal yang sama juga berlaku untuk surat rekomendasi. Ia menyarankan agar mengutamakan kedekatan relasi antara pemberi rekomendasi dan pelamar. Karena biasanya, pelamar cenderung memilih orang yang memiliki gelar tinggi untuk memberikan rekomendasi.“Pilihlah orang yang benar-benar mengenalmu secara personal dan profesional. Lebih baik ambil dari dosen pembimbing atau atasan yang tahu kapasitasmu, bukan orang dengan jabatan tinggi semata,” sarannya. 

Bagian paling menantang dari seluruh proses aplikasi beasiswa, menurut Irma, adalah menulis esai. Ia sering mendapati pelamar menulis esai di waktu-waktu terakhir menjelang tenggat.

“Kesalahan paling umum itu menulis di H-1 deadline. Padahal, esai yang baik butuh waktu untuk dipikirkan dan direvisi, idealnya mulai disusun 1–2 bulan sebelumnya,” ungkapnya.

Irma menekankan bahwa esai bukan sekadar kumpulan prestasi, tetapi juga cermin kepribadian. Ia menyarankan memakai metode STAR (Situation, Task, Action, Result) agar tulisan lebih sistematis dan berbobot. Ia mengedepankan cerita yang jujur dan punya ‘jiwa’ daripada esai dengan kata-kata tinggi tapi kosong makna.

Ia pun mengingatkan agar pelamar berhati-hati menggunakan bantuan AI dalam menulis. “Boleh saja pakai AI untuk mengedit atau mengecek grammar, tapi ide dan gaya penulisannya tetap harus milikmu. Penyeleksi bisa tahu kalau esai itu bukan dari hati,” ujarnya sambil tersenyum.

Tahap wawancara adalah momen penentu, sehingga sering menegangkan. Menurut Irma, interviewer akan menggali hal-hal yang sudah ditulis di dalam esai dan motivation letter. Karena itu, pelamar harus benar-benar memahami isi berkasnya. “Jangan sampai kamu bingung menjelaskan apa yang kamu tulis sendiri,” tegasnya.

Ia juga berbagi kiat agar sesi wawancara terasa lebih ringan. “Wawancara itu nggak harus tegang. Bisa disisipi sedikit humor ringan untuk mencairkan suasana, asalkan tetap sopan dan relevan,” ujarnya.

Selain isi jawaban, cara menyampaikan juga punya pengaruh besar. “Porsi penilaian wawancara itu sekitar 60% isi dan 40% penyampaian. Jadi, persiapan mental dan cara penyampaian juga sangat menentukan,” ujarnya.

Bagi Irma, salah satu hal yang paling dihargai oleh penyelenggara beasiswa adalah komitmen pelamar untuk berkontribusi setelah program berakhir. Ia pun mencontohkan bagaimana pelamar bisa menghubungkan rencana studinya dengan kebutuhan daerah asal.

“Kalau kamu dari jurusan IT dan mau ambil cyber security di Amerika, bisa dikaitkan dengan program smart city Samarinda 2035. Jadi, tunjukkan bahwa ilmu yang kamu pelajari punya manfaat nyata bagi masyarakat lokal,” paparnya.

Menutup wawancara, Irma memberi pesan penuh semangat untuk para pemburu beasiswa. Ia menegaskan bahwa proses ini bukan hal instan, melainkan perjalanan panjang yang membutuhkan ketekunan dan kerja sama.

“Terus tingkatkan kualitas diri, jangan mudah putus asa, dan jadikan mendaftar beasiswa itu sebagai hobi. Education USA siap membantu siapapun yang ingin belajar ke Amerika,” tutupnya dengan senyum optimis.

 

 

Penulis: Raisha Azzahro

Foto: Tio Andika

Design: Raihana Adhwa

Berita lainnya