Belajar Bahasa Inggris Tanpa Takut Salah Ala Musthafa Naufal
Penulis: Raisha Azzahro
umkt.ac.id, Samarinda - Musthafa Naufal, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris semester lima Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT), membuktikan bahwa proses belajar bahasa asing tidak selalu dimulai dari kepercayaan diri yang tinggi atau bakat luar biasa. Berangkat dari ketertarikan sejak kecil yang didorong oleh keluarganya, khususnya sang Ayah, Naufal perlahan menekuni Bahasa Inggris hingga membawanya pada berbagai pengalaman internasional, termasuk mengikuti program exchange student di Malaysia. Saat ini, ia juga aktif sebagai Ketua Public Relations Muhammadiyah English Student Association (MESA) serta menjadi Staf Volunteer di EducationUSA Samarinda, yang semakin menguatkan minatnya pada dunia pendidikan dan kebudayaan internasional.
Ketertarikan Naufal pada Bahasa Inggris sudah tumbuh sejak usia dini. Ia mengaku sejak kecil telah dikenalkan bahwa Bahasa Inggris bukanlah sesuatu yang sulit atau menakutkan. Anggapan itulah yang membuatnya menjalani proses belajar secara bertahap sejak sekolah dasar hingga menengah. Namun, keseriusannya benar-benar terbentuk saat duduk di bangku SMA, ketika ia menyadari bahwa belajar setengah-setengah tidak akan membawanya ke mana-mana. Dari situ, ia mulai memperdalam kemampuan Bahasa Inggris melalui les, belajar mandiri di rumah, dan terus mencari cara agar kemampuannya berkembang.
Meski kini dikenal aktif dan cukup fasih berbahasa Inggris, Naufal menegaskan bahwa mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris tidak selalu datang dengan kemampuan yang sudah matang. Menurutnya, setiap mahasiswa memiliki titik awal dan tantangan yang berbeda-beda. Ada yang sudah terbiasa sejak awal, ada pula yang baru mulai belajar ketika masuk jurusan tersebut. Ia sendiri pun pernah berada di fase merasa buntu, terutama ketika berhadapan dengan materi grammar (tata bahasa) yang rumit dan memusingkan. Namun, baginya, berhenti bukanlah solusi. Konsistensi menjadi kunci utama agar seseorang bisa keluar dari fase stuck dan terus berkembang.
Dalam pandangannya, perbedaan antara mereka yang cepat menguasai Bahasa Inggris dan mereka yang belajar bertahun-tahun tetapi merasa jalan di tempat, memang bisa dipengaruhi oleh bakat. Ia tidak menampik bahwa ada orang-orang yang secara alami lebih cepat menangkap bahasa. Namun, Naufal menekankan bahwa konsistensi dan usaha tetap memiliki peran besar. Ia bahkan menyebut dirinya bukan termasuk orang yang berbakat, melainkan seseorang yang belajar cukup lama hingga akhirnya mampu berbicara lancar.
Ketika berbicara tentang tahap awal pembelajaran, Naufal menilai kelancaran jauh lebih penting daripada ketepatan grammar. Menurutnya, kesalahan dalam pengucapan atau tata bahasa adalah hal yang wajar dalam proses belajar. Ia mendorong para pembelajar untuk berani mencoba dan tidak terjebak dalam overthinking. Trial and error justru membantu seseorang memahami letak kesalahan dan memperbaikinya secara alami, dibandingkan terlalu takut salah hingga akhirnya enggan berbicara.
Ia juga menyoroti kebiasaan mental translation, yaitu menerjemahkan kalimat dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris di dalam kepala sebelum berbicara. Kebiasaan ini, menurut Naufal, bisa menjadi penghambat besar, terutama ketika berhadapan dengan penutur asli. Pengalaman pribadinya menunjukkan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan membiasakan diri berlatih setiap hari. Tanpa praktik yang konsisten, seseorang akan mudah blank meskipun sebenarnya tahu apa yang ingin disampaikan.
Terkait anggapan bahwa menonton film, mendengarkan lagu, atau menyimak siniar (podcast) berbahasa Inggris bisa langsung membuat seseorang fasih, Naufal menilai hal tersebut bukanlah pandangan yang keliru. Justru, aktivitas tersebut sangat membantu dalam memperkaya pemahaman dan kebiasaan mendengar Bahasa Inggris. Ia merekomendasikan konsumsi konten digital berbahasa Inggris, termasuk melalui media sosial seperti Instagram atau TikTok, selama dilakukan secara sadar dan bertujuan untuk belajar.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa tidak semua bahasa yang digunakan dalam film atau media populer cocok diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa ungkapan bisa bersifat kasar atau tidak kontekstual. Oleh karena itu, pembelajar perlu tetap melakukan riset dan memahami penggunaan bahasa secara tepat. Ia juga menyinggung kebiasaan menumpuk kosakata tanpa memahami konteks penggunaannya. Menurutnya, pemahaman dasar tentang konsep waktu— present, past, dan future (masa lalu, masa kini, dan masa depan)— akan sangat membantu dalam menguasai kosakata secara lebih efektif.
Dalam perjalanan belajar, stigma sosial seperti anggapan “sok Inggris” kerap menjadi hambatan mental. Naufal memilih untuk tidak menghiraukan komentar negatif semacam itu. Baginya, kemampuan berbahasa Inggris adalah kebutuhan di era global, terutama bagi mahasiswa yang ingin melanjutkan studi, menyusun tesis, atau memenuhi persyaratan akademik seperti TOEFL. Ia menekankan pentingnya kepercayaan diri dan keberanian untuk terus belajar tanpa terpengaruh penilaian orang lain.
Lingkungan juga menjadi faktor penting dalam pembelajaran bahasa. Jika lingkungan sekitar tidak mendukung, Naufal menyarankan untuk menciptakan lingkungan sendiri atau mencari komunitas yang relevan. Ia melihat teknologi, khususnya kecerdasan buatan, sebagai peluang besar bagi pembelajar yang tidak memiliki partner berlatih. AI dapat dimanfaatkan sebagai media latihan berbicara maupun memperkaya kosakata, selama digunakan secara bijak dan tidak menimbulkan ketergantungan.
Menurut Naufal, sikap perfeksionis dan rasa takut salah justru menjadi penghambat terbesar dalam belajar Bahasa Inggris. Kesalahan adalah bagian alami dari proses, bahkan menjadi sumber pembelajaran yang berharga. Ia meyakini bahwa inti dari berbahasa adalah saling memahami, bukan kesempurnaan mutlak. Begitu pula dengan aksen, ketertarikan pada aksen tertentu seperti aksen American, British, dan Malaysian tidaklah menjadi masalah, selama hal tersebut justru memotivasi untuk belajar lebih giat.
Jika diberi kesempatan kembali ke masa awal belajar, Naufal mengaku ingin mengubah satu hal penting, yaitu kebiasaannya menunggu sempurna sebelum berlatih. Ia menyadari bahwa sikap tersebut justru membuatnya sering mengalami blank. Karena itu, ia berpesan agar para pembelajar tidak menunda praktik dan berani mencoba sejak awal.
Menutup perbincangan, Naufal menyampaikan pesan kepada siapa pun yang masih berjuang belajar Bahasa Inggris dan merasa takut atau terjebak di satu titik. Ia mengajak untuk terus konsisten, meskipun sesekali merasa lelah atau jenuh. Menurutnya, berhenti belajar berarti berhenti berkembang. Dengan ketekunan dan keyakinan, akan tiba masanya seseorang mampu berbicara dengan lancar dan percaya diri dalam Bahasa Inggris.
Penulis: Raisha Azzahro
Sumber gambar: Freepik